Dewi Kiki Oktavianti (2021) Pengawasan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa Suka Damai Kecamatan Singingi Hilir Kabupaten Kuantan Singingi. Other thesis, Universitas Islam Riau. Dewi, Leni Sartika (2021) Analisis Implementasi Transaksi Non Tunai Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Pada Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Dumai. Sampai detik ini memang tidak ada sama sekali, tapi ya it's oke nggak papa lah," lanjutnya. Terbaru, Puput mengungkap tabiat Doddy yang kerap menggunakan uang Chika untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Meski uang yang dipakai adalah milik Chika, tapi Doddy tak menggantinya.. Dilansir dari Tribun Wow, fakta tersebut diungkap Puput dalam kanal YouTube ANTARA UANG BELANJA DAN UANG NAFKAH- Awalnya saya sulit untuk membedakan makna kata membelanjai istri dan menafkahi istri, karena bagi saya kedua kata itu sama maknanya, hanya beda pilihan kata dan JURNA H AJ I Hal 5-8. REPUBLIKA www.republika.co.id. KAMIS, 20 OKTOBER 2011 22 DZULQAIDAH 1432 H NOMOR 275/TAHUN KE-19. Rp 2.900 / 28 Halaman LUAR P JAWA Rp 4.000 DITAMBAH ONGKOS KIRIM. PKS Tetap di Koalisi Teguh Firmansyah, Mansyur Faqih WIDODO S JUSUF/ANTARA. MAHAKA MEDIA IKLAN: Telp: 021 791 84744, Faks: 021 antaranafkah istri dan uang belanja Harta isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki sejak sebelum menikah, atau pun setelah menikah. Harta istri setelah menikah yang terutama adalah dari suami dalam bentuk nafaqah (nafkah), selain juga mungkin bila isteri itu bekerja atau melakukan usaha yang bersifat bisnis. poster tentang dampak siklus air bagi kehidupan. – Awalnya saya sulit untuk membedakan makna kata membelanjai istri dan menafkahi istri, karena bagi saya kedua kata itu sama maknanya, hanya beda pilihan kata dan keluasan maknanya saja. Bagi saya, membelanjai istri dan menafkahi istri sama-sama bermakna memberikan sejumlah uang kepada istri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga secara periodik, sedangkan yang sedikit membedakan bahwa menafkahi itu tidak harus uang tetapi bisa bersifat non materi. Artinya jika kita telah memberikan uang belanja kepada istri kita berarti kita telah memberikan nafkah lahir materi, itu pemahaman awal saya, mungkin juga pemahaman hampir seluruh para suami. Tetapi, saya mulai bisa membedakan antara uang belanja dan uang nafkah saat saya melihat anggaran belanja rumah tangga seorang teman. Dari sekian item anggaran yang yang diberikan ke saya, ada satu item anggaran yang menarik bagi saya. Menarik karena hanya item itu yang satu-satunya berbeda dengan item-item dalam anggaran rumah tangga saya dan anggaran rumah tangga pada umumnya, yaitu item “nafkah istri”. Apa bedanya pikir saya saat itu, ternyata menurut temen saya bahwa nafkah istri berarti suami memberikan sebagian hartanya kepada istri untuk dikelola dan digunakan untuk kepentingan pribadi istrinya, sedangkan belanja istri adalah memberikan harta uang untuk kebutuhan hidup suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. Saya mencoba untuk memahami apa yang disampaikan temen saya itu. Akhirnya saya temukan kunci jawaban untuk membedakan antara uang belanja dan uang nafkah, yaitu kemuliaan wanita. Antara uang belanja dan uang nafkah muncul dua kewajiban berbeda yang harus dilaksanakan seorang suami. Uang belanja adalah kewajiban suami sebagai kepala keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya dengan layak, sedangkan uang nafkah adalah kewajiban suami sebagai seorang lelaki yang qowam untuk menjaga kemuliaan seorang wanita yang menjadi istrinya. Dalam uang nafkah itu terkandung kemuliaan wanita dari seorang istri. Uang nafkah menjadikan istri bukan seorang “pengemis” di hadapan suaminya jika istri ingin memenuhi hajat pribadinya. Uang nafkah adalah hak yang harus diterima seorang istri, dan istri memiliki hak penuh untuk mengelola dan menggunakan untuk kepentingan pribadinya. Sehingga istri bisa memenuhi kebutuhan pribadinya dengan tetap terjaga kemulian dan kehormatannya tanpa harus “mengemis” di hadapan suami atau harus bekerja keras di luar rumah. Jadi menurut saya, jika suami hanya memberikan uang belanja bulanan saja maka kewajibannya sebagai suami belum lengkap bahkan cenderung tidak menghargai istrinya, karena memberi uang belanja tanpa uang nafkah seakan menjadikan istri sebagai pembantu rumah tangga kita saja. Oleh karena itu meskipun istri kita bekerja, uang belanja dan uang nafkah tetap harus kita berikan kepada istri kita walaupun sedikit, karena keduanya merupakan hak istri dan kewajiban bagi suami. Jika sekarang para suami hanya masih memberikan uang belanja saja maka harus dilengkapi kewajibannya sebagai seorang suami yang qowam dengan memberikan uang nafkah walaupun sedikit dan meskipun istri kita bekerja. Karena dalam uang nafkah itu ada kemulian seorang wanita yang menjadi istri kita, dan ada ke-qowaman kita sebagai seorang suami dan laki-laki. [ By Ustad Noven.. Penulis Najmah Saiidah KELUARGA — Islam telah memberikan tanggung jawab kepada ayah atau suami untuk menafkahi istri dan anak-anaknya sesuai kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” QS At-Thalaq 7 Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah.” HR Thabrani Rasul saw. dalam Haji Wada bersabda, “Ayomilah kaum wanita para istri karena Allah, sebab mereka adalah mitra penolong bagimu. Kamu telah memperistri mereka dengan amanah Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat Allah. Kamu berhak melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu. Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.” Islam telah mengatur tanggung jawab penafkahan ini dengan sangat terperinci, sehingga kehidupan keluarga bisa dilalui dengan penuh ketenteraman dan kebahagiaan. Pengaturan Islam tentang Nafkah Islam telah mengatur tanggung jawab pemenuhan kebutuhan keluarga dengan sangat terperinci dan memberikan tanggung jawab ini kepada ayah atau suami. Karenanya, sistem Islam akan memberi peringatan dan sanksi pada laki-laki jika mereka lalai dalam melaksanakan kewajiban ini. Bahkan, dalam sistem Islam, negara punya hak untuk memaksa kepala keluarga atau wali jika mereka menahan hartanya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga atau orang yang menjadi tanggungannya. Jika seorang suami menahan harta untuk istri dan anak-anaknya, padahal ia memiliki harta yang memadai, dengan kata lain ia kikir sehingga istri dan anak-anaknya tidak terpenuhi kebutuhannya secara memadai, maka Islam memberikan kebolehan kepada istri untuk mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya sesuai dengan kebutuhannya dan anaknya. Hal ini pernah terjadi di masa Nabi Muhammad saw.. Adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “Ia tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu Rasul saw. bersabda, “Ambillah dari hartanya dengan makruf baik-baik sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu.” HR Bukhari dan Muslim Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menjelaskan bahwa diperbolehkan mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah keperluan yang dimaksud oleh istri dalam kaitannya dengan kebutuhan pokok yang sifatnya urgen dan sesuai kebutuhan, sebab redaksi hadis menyebutkan, “… yang mencukupimu dan anakmu sebagaimana mestinya makruf.” Ketika Uang Belanja Tidak Mencukupi, Apa yang Harus Istri Lakukan? Pada faktanya, terlebih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme ini, tidak ada jaminan apa pun dari negara, termasuk kebutuhan pokok rakyatnya. Karenanya, beban keluarga muslim di negeri ini cukup berat. Kebutuhan pokok, baik sandang, pangan, dan papan—belum lagi pendidikan, kesehatan, dan keamanan—semua ditanggung sendiri oleh keluarga muslim. Belum lagi harga barang-barang kebutuhan pokok terus menanjak, bahkan seolah tidak pernah kembali ke harga awal. Terlebih lagi saat pandemi seperti sekarang, ditambah kebijakan PPKM yang dicanangkan penguasa negeri, tidak sedikit keluarga muslim yang berkurang pendapatannya, bahkan ada di antara mereka tidak memperoleh pendapatan sama sekali hingga mengharuskannya mengencangkan ikat pinggang dalam mengelola keuangan agar keluarga tetap bisa bertahan hidup. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh para istri? 1. Tetap Memotivasi dan Mengingatkan Suami Untuk Mencari Rezeki yang Halal Ketika suami sedang mengalami kesempitan rezeki sehingga nafkah yang diberikan sudah tidak mencukupi, maka seorang istri yang baik tidak akan memojokkan suaminya. Namun, seorang istri pun memiliki peran penting untuk selalu memotivasi suami agar suami tetap berusaha mencari rezeki yang halal. Bagaimanapun, manajemen keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan pemberi rezeki adalah Allah Swt., tugas manusia adalah berusaha dengan niat untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat melaksanakan semua kewajiban. Allah telah mengatur rezeki hamba-Nya, juga sudah dibagi dengan adil, tidak akan pernah tertukar. Ada baiknya mencari waktu dan momen yang baik untuk membicarakan masalah ini dengan suami, misalnya di saat santai berdua bersama suami di malam hari. Kita pun menyampaikannya dengan kalimat yang lembut dan baik, dengan bahasa yang mengajak untuk memecahkan masalah bersama, bukan menumpahkan persoalan kepada suami. 2. Membicarakan Kondisi Keuangan dengan Anak-Anak Sebaiknya kita menyampaikan kondisi keuangan kita kepada anak-anak—terlebih yang sudah menjelang balig—agar mereka tidak kaget ketika terjadi perubahan pola konsumsi dalam keluarga. Kita juga harus mengenalkan kepada anak-anak untuk mengetahui perencanaan keuangan keluarga, agar mereka pun juga turut andil untuk berhemat, misalnya dengan mengurangi pengeluaran yang tidak terlalu penting. Dengan demikian, seluruh anggota keluarga bisa memahami kondisi ini, lebih baik lagi jika seluruh anggota keluarga bisa bekerja sama dan melakukan aktivitas bersama, seperti memasak makanan kesukaan keluarga yang biasanya dibeli, sehingga bisa menghemat pengeluaran keluarga. Atau berkebun sayuran bersama walaupun sederhana, sehingga di samping bisa mempererat hubungan keluarga, juga bisa mengurangi uang belanja. 3. Prioritaskan Penunaian Kewajiban dan Kebutuhan Pokok Dalam sistem sekuler kapitalisme, tidak ada yang cuma-cuma. Kebutuhan-kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang seharusnya menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, dibebankan kepada rakyat. Sehingga, rakyat dibebankan biaya-biaya yang tidak sedikit. Setiap bulannya kita dituntut untuk membayar listrik, air, uang sekolah anak, bahkan ada sebagian kita yang harus membayar jasa keamanan karena negara tidak menjaminnya. Terkait dengan pemenuhan akad-akad yang sudah kita lakukan, mau tidak mau kita harus penuhi. Jika kita tidak mampu menunaikannya pada saat ini, harus dikomunikasikan dengan pihak yang berakad, apakah posisinya menjadi utang, minta keringanan, atau dibebaskan. Demikian halnya dengan kebutuhan pokok, seorang istri tentu saja harus lebih memprioritaskan membeli kebutuhan-kebutuhan yang penting dan pokok, misalnya pangan untuk kebutuhan sehari-hari, baru memikirkan kebutuhan lainnya. Kebutuhan makanan untuk seluruh anggota keluarga kita penuhi walaupun dengan menu-menu yang lebih sederhana. Tentu saja menuntut kreativitas dari seorang ibu untuk menyediakan menu-menu makanan yang bergizi, tetapi dengan harga yang dapat dijangkau keuangan keluarga. 4. Mengatur pengeluaran Sesuai Pendapatan Seorang istri memiliki tugas membantu suami dalam mengatur pendapatan suaminya dan tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar kemampuannya. Terlebih di masa pandemi—yang belum tahu kapan akan berakhir—seorang istri harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan pendapatan suami, jika bisa menyisihkan untuk ditabung atau bersedekah, tentu lebih baik. Abu bakar ra. pernah berkata, “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.” Dalam berumah tangga, suami istri hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah Allah. Sabda Nabi saw., Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu mendapat pahala darinya.” Muttafaq Alaih 5. Membelanjakan Secara Hemat dan hidup sederhana Di masa pandemi saat ini, mau tidak mau kita dituntut untuk bijaksana dalam membelanjakan harta, apalagi jika kita tidak memiliki pendapatan tetap atau bisa jadi saat ini kita mengandalkan tabungan. Sudah seharusnya kita berhemat dan menerapkan pola hidup sederhana. Kita membelanjakan sesuai dengan kebutuhan, menahan diri dari membelanjakan harta untuk hal-hal yang kurang penting, semata hanya memenuhi keinginan kita. Rasulullah SAW bersabda ” Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari penghasilan secara baik, membelanjakan hartanya secara hemat, dan bisa menyisihkan tabungan sbg persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” HR. Bukhari dan Muslim 6. Membantu Pendapatan keluarga Tidak dapat dimungkiri, pada faktanya banyak para ayah yang penghasilannya berkurang, bahkan kehilangan pekerjaan di masa pandemi ini. Sesungguhnya Islam tidak melarang para istri bekerja, berdagang, atau melakukan aktivitas lainnya yang menjadi jalan datangnya rezeki untuk membantu suami, asalkan suami mengizinkannya dan ia tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait ibu dan pengelola rumah suaminya serta kewajiban-kewajiban lainnya. Hanya saja, ia tetap berkewajiban mendorong dan memotivasi suaminya untuk berusaha mencari nafkah atau berusaha bersama-sama saling bahu membahu untuk mendatangkan rezeki, misalnya kerja sama dalam berdagang dan sebagainya. 7. Banyak Berdoa Ketika rezeki keluarga kita sedang dalam kesempitan, sudah seharusnya kita mengetuk pintu langit, memohon doa kepada Allah Ar-Rozaak, Sang Maha Pemberi Rezeki, agar selalu memberikan kelapangan rezeki untuk keluarga kita. Ada sebuah kisah ketika keluarga Ali bin Abi Thalib mengalami kesulitan, ia meminta istri tercintanya, Fathimah, untuk menghadap Rasulullah saw.. Kemudian Fathimah menceritakan keadaannya kepada ayahandanya. Dengan penuh kasih, Rasulullah saw. memandang putrinya sembari bertutur, “Sungguh, sejak sebulan ini tungku rumah ini juga tidak menyala. Tetapi baru saja aku diberi seekor kambing betina. Jika kamu mau, aku akan usahakan lima ekor untukmu. Atau kamu mau kaku ajari lima kalimat yang pernah diajarkan Jibril kepadaku ?” Lalu Fathimah menjawab, “Ajarilah saja aku lima kalimat yang diajarkan kepadamu, wahai ayah.” Dengan serta-merta, Rasulullah mengajarkan lima kalimat itu. “Bacalah selalu Yaa awwalal Awwaliina, wa Yaa Akhiiral Akhiriina, wa Yaa Dzal Quwwatil Matiin, wa yaa Raahimil masaakiin, wa yaa Arhamar Raahimiin Wahai Zat Yang Mahaawal, wahai Zat yang Mahaakhir, wahai Zat Pemilik Kekuatan yang hebat, Wahai Zat yang Maha Pengasih bagi orang-orang miskin, wahai Zat Yang Maha Pengasih.” Khatimah Telah kita pahami bersama bahwa kewajiban nafkah menjadi tanggung jawab suami kita, akan tetapi kadang ada kondisi tertentu, terlebih di saat pandemi sekarang ini menjadikan pendapatan keluarga berkurang bahkan tidak mencukupi. Bila suami sudah berikhtiar semaksimal mungkin dalam memenuhi kebutuhan keluarga, akan tetapi kebutuhan keluarga tidak tercukupi, sudah seharusnya sebagai istri membantu menyelesaikan permasalahan ini dengan mengelola keuangan dengan baik, di samping juga dengan tetap memotivasi suami agar terus berikhtiar. Selain itu, tentu saja dengan selalu memanjatkan doa kepada Allah Swt.. Kita yakin bahwa doa yang kita panjatkan dengan penuh keikhlasan, sepenuh jiwa dan raga kita, terlebih kita terus kumandangkan di waktu-waktu diijabahnya doa, dengan izin Allah akan membelah langit, menjadi jalan dikabulkannya doa kita. Semoga Allah senantiasa memberikan kecukupan rezeki untuk kita dan keluarga. Aamiin yaa mujiibas saailiin. Wallahu a’lam bishshawwab. [MNews/Gz] Facebook Notice for EU! You need to login to view and post FB Comments! Jakarta - Nafkah istri perlu ditunaikan oleh suami. Ketika ijab kabul telah sah, maka kedua mempelai dalam sebuah pernikahan resmi menjadi pasangan suami istri. Saat itu juga, hak dan kewajiban keduanya mulai berlaku, termasuk nafkah suami terhadap merupakan tanggung jawab suami, sehingga ia wajib memberi nafkah kepada istrinya. Sebagaimana dinyatakan pada sejumlah firman Allah dalam Al-Qur'an, Surah An-Nisa ayat 34اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ Arab Latin ar-rijālu qawwāmụna 'alan-nisā`i bimā faḍḍalallāhu ba'ḍahum 'alā ba'ḍiw wa bimā anfaqụ min amwālihimArtinya "Laki-laki suami adalah penanggung jawab atas para perempuan istri karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain perempuan dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari hartanya."Nabi SAW dalam haditsnya juga mewajibkan suami untuk menafkahi istrinya. Diriwayatkan dari Jabir RA, Rasulullah bersabda dalam khutbahnya saat haji wada"Bertakwalah kepada Allah dalam soal wanita, sebab mereka itu adalah tawanan di tangan kalian. Kalian ambil mereka dengan amanat Allah dan kalian halalkan kemaluannya dengan kalimat Allah. Bagi mereka rezkinya atas kalian, begitu pula pakaiannya, dengan cara yang makruf." HR MuslimSyarat Istri yang Berhak Mendapatkan NafkahMelansir buku Perkawinan Idaman oleh Syaikh Mahmud Al-Mashri, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar istri bisa mendapatkan haknya1. Akad nikah harus sah dan benar2. Istri harus menyerahkan diri kepada Istri memberi kesempatan kepada suami untuk Istri tidak menolak jika diajak pindah oleh suaminya kemana pun ia Istri layak dan bisa jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka nafkah terhadap istri hukumnya tidak Nafkah Suami Terhadap IstriDijelaskan dalam Buku Lengkap Fiqh Wanita oleh Abdul Syukur Al-Azizi, banyaknya nafkah yang harus diberikan suami kepada istri adalah yang makruf atau dari madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali membatasi nafkah bersifat wajib yakni yang sekiranya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kecukupan di sini berbeda-beda tergantung kondisi suami dan juga mengatakan dalam Surah At-Talaq ayat 7, bahwa besaran nafkah untuk istri berdasarkan kemampuan sang ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًاArab Latin Liyunfiq żụ sa'atim min sa'atih, wa mang qudira 'alaihi rizquhụ falyunfiq mimmā ātāhullāh, lā yukallifullāhu nafsan illā mā ātāhā, sayaj'alullāhu ba'da 'usriy yusrāArtinya "Hendaklah orang yang lapang rezekinya memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa harta yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan."Dalam hal nafkah yang perlu dipertimbangkan adalah keadaan suami. Sehingga meskipun nafkah wajib adalah yang bisa mencukupi kebutuhan keduanya, perlu juga memerhatikan kondisi keuangan atau perekonomian Istri dan Uang Belanja Apakah Sama?Nafkah istri dan uang belanja dijelaskan dalam buku Muslimah Sukses Tanpa Stres oleh Dr. Erma Prawitasari, bahwa nafkah istri adalah pemberian rutin dari suami yang dikhususkan bagi setiap istri. Untuk suami kaya, istri berhak meminta nafkah atau gaji lebih besar sesuai dengan status keduanya dalam tetapi bagi suami yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga, ia termasuk orang yang berhak menerima nafkah dari kerabatnya yang kaya atau zakat dari pemerintah. Tentu istrinya harus memahami kondisi ini dan bersedia menerima nafkah qana'ah merupakan salah satu kunci kebahagiaan rumah tangga. Ketika Fatimah binti Rasulullah SAW mengeluhkan pekerjaan rumah yang melelahkan, sementara suaminya tidak mampu menyediakan pembantu, Nabi SAW mengajari Fatimah konsep qana' أَدُلُّكُمَا عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُمَا إِلَى فِرَاشِكُمَا، أَوْ أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا، فَكَبِّرَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَاحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍArtinya "Maukah kalian berdua aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik dari seorang pembantu? Jika kalian hendak tidur, ucapkanlah takbir 33 kali, tasbih 33 kali, dan tahmid 33 kali. Hal itu lebih baik dari seorang pembantu."Itulah penjelasan mengenai nafkah istri dari seorang suami dalam Islam. Simak Video "Motif Suami Bunuh Istri di Kebun Karet Prabumulih" [GambasVideo 20detik] lus/lus Sebuah status Facebook viral, dibagikan lebih dari 60 ribu pengguna Facebook lainnya. Apa pasal? Ia mengunggah foto dua amplop berisi uang, yang satu bertuliskan uang shopping, satu lagi bertuliskan uang belanja. Lantas ia menuliskan bahwa uang nafkah berbeda dengan uang belanja. Benarkah demikian? Kita awali dari pengertian nafkah, apa saja yang termasuk nafkah, dan benarkah nafkah adalah uang shopping alias uang jajan yang berbeda dengan uang belanja. Pengertian Nafkah Nafkah berasal dari bahasa Arab an-nafaqaat النفقات yang merupakan bentuk jamak dari an-nafaqah النفقة. An-nafaqah terambil dari kata al-infaq الإنفاق, asalnya adalah anfaqa-yunfiqu انفق – ينفق yang artinya mengeluarkan, menghabiskan. Dengan demikian, secara bahasa etimologi, nafkah adalah sesuatu yang diinfakkan atau dikeluarkan oleh seseorang untuk keperluan keluarganya. Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu menjelaskan, pengertian nafkah secara istilah terminologi menurut syara’ adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal untuk keluarganya. Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah, nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan istri. Sedangkan dalam Fiqih Manhaji dijelaskan, nafkah adalah semua yang dibutuhkan manusia berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Dari pengertian ini, nyatalah bahwa uang belanja jika maksudnya adalah belanja untuk keperluan makanan istri termasuk nafkah. Jika belanjanya untuk kebutuhan konsumsi seluruh anggota keluarga dan suami sudan memberikan yang cukup, itu juga termasuk nafkah. Demikian pula, ketika suami memberikan uang untuk istri membeli pakaian, itu juga termasuk nafkah. Dalam fiqih, istilahnya adalah nafkah bukan uang shopping. Baca juga Doa Iftitah Pendek Apa Saja yang Termasuk Nafkah? Para ulama sepakat, nafkah bukan hanya makanan. Nafkah yang wajib minimal meliputi kebutuhan pokok. Minimalnya adalah makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Bahkan, mayoritas ulama menambahkan beberapa hal lain sebagai nafkah minimal. 1. Makanan Mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan. Juga tradisi yang berlaku di masyarakat setempat. Dalam masyarakat kita, makanan artinya makan tiga kali sehari. Jika bisa, empat sehat lima sempurna. 2. Pakaian Jika suami miskin, menurut ulama Syafi’iyah, minimal memberikan dua pakaian. Setiap kali rusak, pakaian itu harus diganti. Dan pakaian di sini harus menutup aurat secara sempurna. Di masa sekarang, mayoritas masyarakat kita memiliki banyak pakaian. Bahkan pakaian tertentu hanya cocok untuk momen tertentu. Misalnya pakaian resmi, baju rumahan, pakaian ke walimah, seragam pengajian, dan lain-lain. Di satu sisi menyesuaikan dengan kebutuhan, di sisi lain juga tidak boros. Masalah merk, menyesuaikan dengan kemampuan suami, jangan berlebih-lebihan. 3. Tempat tinggal Suami wajib memberikan tempat tinggal untuk istri yang tidak bercampur dengan keluarga lain. Namun jika istri rela untuk tinggal di rumah mertua, hal itu tidak mengapa. Idealnya tempat tinggal ini adalah rumah miliki sendiri, meskipun kecil. Namun, jika suami belum mampu membeli rumah, tempat tinggal bisa diperoleh dengan sewa atau kontrak. Termasuk dalam kewajiban tempat tinggal ini adalah perabot rumah tangga dan alat kebersihan yang dibutuhkan istri. 4. Obat-obatan kesehatan Sebagian ulama menyebut obat-obatan bukan kewajiban suami. Namun, pendapat ini tertolak. Bahkan banyak ulama menjelaskan, obat-obatan kesehatan lebih penting daripada makanan karena jika seseorang sakit, ia tidak bisa menikmati makanan. Dan betapa buruknya seorang suami yang hanya menyukai dan menafkahi istrinya di kala sehat, tetapi tidak bertanggungjawab saat istrinya sakit. 5. Make up Memang para ulama dahulu tidak menyebut make up, karena istilah tersebut belum ada di waktu itu. Namun kita bisa menggunakan istilah ini untuk mengelompokkan alat-alat berhias yang disebutkan para ulama. Ulama Malikiyah berkata, “Suami juga wajib menyediakan alat-alat berhias yang penting untuk istri seperti celak, minyak, dan sejenisnya.” Para ulama Syafi’iyah menambahkan sisir. Sedangkan ulama Hanabilah menambahkan sabun. Jadi, make up yang diperbolehkan bagi seorang muslimah merupakan salah satu bentuk nafkah yang harus suami sediakan untuk istrinya. Ada pun jenis dan merk-nya, tentu menyesuaikan dengan kemampuan suami. 6. Pembantu Para ulama sepakat bahwa seorang istri wajib mendapatkan pembantu jika suami kaya dan istri terbiasa dilayani sewaktu masih tinggal bersama orang tuanya. Atau istri memiliki harkat yang tinggi atau sedang sakit. Bahkan menurut pendapat ulama Malikiyah, suami yang kaya wajib menyediakan dua pembantu untuk istrinya. Satu pembantu di dalam rumah dan satu pembantu untuk urusan keluar rumah. Namun, menurut mayoritas ulama tidak wajib menyediakan pembantu lebih dari satu. Nah, dari enam poin ini saja, sudahkah kita sebagai para suami memenuhinya? Ini yang wajib. Ada pun jika mau menambahkan uang shopping khusus untuk jalan-jalan atau jajannya istri, tentu itu lebih baik. Baca juga Isi Kandungan Surat Al Kafirun Bagaimana Ketentuan Besar Nafkah? Lantas dari enam poin itu -terutama makanan, pakaian, dan tempat tinggal- berapa besarnya? Bagaimana menentukan jumlahnya? Al-Qur’an dan Hadits tidak merinci besarannya. Keduanya menggunakan istilah ma’ruf. Bahwa nafkah itu harus cukup, layak, dan pantas. Kedua, disesuaikan dengan kemampuan, sebagaimana dalam Surat Ath Talaq ayat 6 dan 7. Ketentuan umum seperti ini sebenarnya memberikan kemudahan dan kebaikan untuk seluruh keluarga muslim. Di satu sisi ia tidak memberatkan suami, di sisi yang lain tidak menzalimi istri. Lalu bagaimana menentukan kadar ma’ruf nafkah suami kepada istri, berapa besaran minimalnya? Di sinilah para ulama berijtihad. 1. Sesuai Kebutuhan Istri Pendapat pertama, besaran nafkah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan istri. Berdasarkan hadits Hindun binti Utbah yang Rasulullah persilakan mengambil harta suaminya yang bakhil, sebagian ulama menentukan besarnya nafkah untuk istri diukur menurut kebutuhan istri dengan ukuran yang makruf. “Hadits ini menunjukkan bahwa jumlah nafkah diukur menurut kebutuhan istri dengan ukuran yang makruf, yaitu ukuran yang standar bagi setiap orang di samping memperhatikan kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri,” terang Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah. “Karenanya, jumlah nafkah berbeda menurut zaman, tempat, dan keadaan individunya.” Baca juga Asmaul Husna 2. Sesuai Kemampuan Suami Pendapat kedua, besaran nafkah disesuaikan dengan kemampuan suami, bukan keadaan istri. Kalangan Hanafiyah menetapkan jumlah nafkah istri sesuai dengan kemampuan suami tanpa melihat keadaan istrinya. Mereka berdalil dengan Surat Ath Thalaq ayat 6 dan 7. Madzhab Syafi’i sejalan dengan Madzhab Hanafi ini. Bahwa menentukan jumlah nafkah bukan berdasarkan kebutuhan tetapi diukur berdasarkan hukum syara’ dengan mempertimbangkan kemampuan suami. Maka dalam madzhab ini, suami yang kaya wajib memberikan nafkah dua mud per hari. Sedangkan suami yang miskin, wajib memberikan nafkah satu mud per hari. Antara keduanya, bisa 1,5 mud per hari. Angka-angka ini adalah kewajiban nafkah makanan dalam kondisi genting. Yang jika suami bakhil, qadhi hakim bisa memaksanya untuk mengeluarkan nafkah minimal tersebut. Tentu hubungan keluarga suami istri tidak dibangun hanya dengan angka-angka minimal, tetapi harus harmonis dan saling melengkapi. Jika suami mampu, tidaklah pantas ia memberikan nafkah minimal, sebab kaidahnya adalah suami istri makan makanan yang sama dan berpakaian dengan pakaian yang setara. عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ Dari Muawiyah al-Qusyairi, ia berkata, aku bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul mukanya, janganlah engkau menjelekannya, dan janganlah engkau meninggalkannya melainkan masih dalam satu rumah.” HR. Abu Dawud; hasan Demikian penjelasan pengertian nafkah, apa saja yang termasuk nafkah, dan bagaimana ketentuan besarnya nafkah untuk istri. Penjelasan lengkap dengan dalilnya, jenis-jenis nafkah, dan sebagainya, silakan baca artikel Nafkah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/WebMuslimah] Dapatkan Update berita melalui notifikasi browser Anda. Selasa, 13 Juni 2023 Muhajirin Kamis, 09 Maret 2023 - 1620 WIB Ilustrasi suami dan istri foto Jakarta - Pengasuh Pondok Pesantren Al Bahjah, Prof. Yahya Zainul Ma'arif Buya Yahya, menjelaskan, nafkah merupakan kewajiban yang Allah bebankan kepada suami untuk istri. Artinya, seorang suami memiliki kewajiban mencukupi kebutuhan pribadi yang prinsip dari istri.“Urusan makannya, urusan pakaiannya, urusan tempat tinggalnya. Dalam adat kita, sesuai dengan kemampuan seorang laki-laki. Yang jelas sesuai dengan kemampuan seorang suami, bentuk kasih sayang,” ucap Buya Yahya dalam salah satu tausiahnya, dikutip Kamis 9/3/2023.Contoh kebutuhan mendasar tersebut, di antaranya makanan dan minuman, pakaian untuk menutup aurat, tempat tinggal yang layak. Jika ada biaya tambahan atau uang belanja tambahan maka itu masuk dalam kategori kebaikan suami kepada istri. Baca Juga Tak Ada Pajak dalam Islam, Buya Yahya Jika Sesuai Syariat Wajib Didukung“Jadi, nafkah itu adalah yang mencukupi kebutuhan pribadi istri dan juga kebutuhan anak-anaknya. Selebihnya, itu adalah hadiah atau kebaikan dari seorang suami, maka belanja yang diberikan itu adalah secukupnya akan jadi nafkah, selebihnya adalah kebaikan seorang suami, enggak usah dipilah-pilah,” ujar Buya Buya Yahya, jika suami memiliki kemampuan lebih dalam hal harta, maka sangat mulia memberikan uang belanja untuk menyenangkan istri. Ini termasuk dalam akhlak mulia. Menyenangkan istri sangat penting, mengingat istri mengurus banyak keperluan rumah tangga, mulai dari anak-anak sampai keperluan suami.“Kita harus membedakan antara nafkah dan uang belanja. Kehidupan akan menjadi lebih indah jika kita tidak hanya berbicara, tetapi juga mempraktikkan akhlak yang lebih baik untuk pasangan kita. Ini bukan hanya urusan yang sederhana,” tutur Buya Yahya.jqf TOPIK TERKAITbuya yahyakebutuhan rumah tanggarumah tanggasuami istriBERITA TERKAIT

antara nafkah istri dan uang belanja muslimah corner